Senin, 04 Januari 2010

Sebuah Cerpen Karya Saya yang Gak Jelas

Langit Kenangan

Di malam pergantian tahun itu, langit bertabur bintang. Kedip tak sedikitpun dari matanya, seperti ada sesuatu yang menahan otot kelopaknya untuk menutup. Perih dan kering mata tak ia rasakan. Berbaring di atas padang rerumputan basah pun tak jadi masalah. Semua hanya karena langit malam itu. Tapi sayang, sang rembulan terlalu pamer. Bulat kuning itu mendominasi langit dan memusnahkan bintang di sekelilingnya. Gadis itu merenung. Mengapa ini mutlak?

Pandangannya beralih ke langit tepat di atasnya. Seperti yang sudah ia hafal, di sana memang ada bintang-bintang itu. Selalu saja. Orion, sang pemburu, anjing besar serta anjing kecilnya. Ia menghela napas. Mengapa harus bulan purnama sekarang? Ia jadi tak bisa melihat kecantikan sebenarnya dari jantung si anjing besar. Sirius, bintang paling benderang se-angkasa, kalah dengan bulan. Padahal bulan mengambil terang dari bintang. Kelihatannya bintang itu ingin mati saja, seperti dirinya. Berkelip redup. Tetapi ada hal menarik yang ia perhatikan. Sirius, jantung si anjing, Betelgeuse, bahu sang pemburu, dan Procyon perut si anjing kecil membentuk sebuah bangun simetris, segitiga sama sisi. Segitiga musim dingin, begitu mereka menyebutnya. Tapi toh, apalah arti sebuah nama? Kita tinggal di ekuator. Tak masalah apakah itu segitiga musim dingin, musim panas, atau segi empat musim gugur.

Gadis itu, Stella memejamkan matanya sejenak , membukanya dan kemudian bersenandung nyanyian langit. Ia ingat bagaimana dulu ibunya selalu menyanyikan lagu itu untuk menidurkannya. Karena lagu inilah ia jadi hafal langit. Ia juga ingat ayahnya, yang memberikannya binokular kecil saat ulang tahunnya yang kesebelas. Ah, sudahlah. Untuk apa diingat-ingat? Mereka sudah meninggalkannya. Sudah enam tahun sejak binokular itu pertama kali di tangannya. Ia memejamkan matanya lagi, dan kali ini bibirnya bergetar dan pita suaranya mengeluarkan kata-kata bernada syahdu.

Langit malam, penuh kisah

Meski kelam, namun berwibawa

Tabur bintang dan tawa bulan

Tak lelah mengabdi padamu

Coba kau lihat di sana, pada bintang gemerlap

Dan kau tatap dalam-dalam

Kau ‘kan lihat mereka hidup

Di negerinya yang abadi

Dan tahukah kau?

Adakalanya mereka rela jatuh

Hanya ‘tuk kabulkan satu untukmu


Stella menghela napasnya sekali lagi. Titik air mata membasahi pipinya yang merah. Lalu ia melihat sesuatu melintas di atas langit. Bintang jatuh yang besar, lebih mirip bola api. Ia tahu ia sudah dewasa dan tak percaya lagi akan bintang jatuh yang menurutnya konyol. Memohon permintaan pada pecahan kecil debu komet yang dibakar atmosfer bumi? Itu bahkan bukan benar-benar sebuah bintang jatuh. Jika bintang jatuh, kiamatlah sudah.

Ia segera menyeka air mata di pipinya yang terasa dingin. Menahan sakit di kakinya, ia meringkuk dan memejamkan mata. Udara terasa begitu hangat. Terlalu hangat, bahkan panas. Ia melihat sekeliling, melihat rumah tua yang terbakar. Api merah tertawa dan mengejeknya. Lantas ia berlari ke arah rumah itu. Samar-samar terlihat sosok gadis kecil menggedor-gedor kaca jendela rumah dari luar dengan percuma. Wajahnya bengkak karena air mata dan asap. Dua sosok tua yang sepertinya merupakan orang tua gadis itu segera menarik gadis itu menjauh dari jendela. Tapi ia terus saja meraung. “Kakak! Kakak! Ia masih di dalam sana!” jerit gadis itu. Tapi api itu, mustahil siapapun untuk bisa masuk ke dalam. Sepertinya pemadam kebakaran datang terlambat karena medan perjalanan yang berat. Orang tuanya memeluk ia dengan erat dan berusaha menenangkannya. Tapi ia terus saja menjerit, menyebut nama kakaknya. “Kak Stella! Kak Stella!” lalu terdengar bunyi patah dan bedebum yang keras.

Stella terbangun. Rupanya ia bermimpi. Dadanya berdegup kencang mengingat mimpinya, kenyataan masa lalunya. Di atasnya, masih langit malam.

Kebakaran itu terjadi saat ia berlibur di rumah tua itu dengan keluarganya untuk merayakan tahun baru, bertepatan juga dengan ulang tahunnya yang ke sebelas. Saat malam itu, ia jatuh sakit dan ditinggal di rumah itu sendirian. Orangtua dan adiknya ada di taman belakang, sedang berpesta, tetapi ia tidak tahu. Ia menggerutu kesal dan menyalakan kembali lilin ulang tahun miliknya yang tadi telah ditiupnya. Di ambilnya sebungkus marshmallow bentuk bintang pemberian ibunya, menusukkannya ke sebatang lidi kemudian membakarnya di atas lilin. Segera marshmallow itu mencair, dan ia memakannya. Berkali-kali ia melakukannya hingga seluruh persediaan habis. Stella terlalu kenyang, dan ia tertidur pulas. Lilin itu tertiup angin. Bukannya mati, lilin itu jatuh dan membakar tirai. Sekejap ruangan itu dipenuhi api yang menari. Stella kecil merasa sesak napas dan ia terkejut melihat kamar yang menyala merah. Ia pun segera lari keluar kamar, tetapi pintunya terkunci. Orang tuanya mengunci kamar Stella agar ia tidak kabur dan cukup istirahat. Ia mencari akal lain. Ia keluar melalui jendela, lompat ke pohon di samping jendela, dan lari sejauh mungkin. Apa yang Stella dapatkan keesokan paginya adalah, rumahnya yang hancur, dan sekelompok orang berseragam merah lengkap dengan mobil yang memiliki selang air yang besar. Sepertinya mereka membersihkan sisa kebakaran. Tapi tunggu, di mana ayah, ibu, dan adiknya? Dengan masih mengenakan piyama hijau, ia berlari kencang ke arah rumah itu, dan ia mendapat kenyataan yang mengejutkan. Mereka tewas tertimpa pohon yang terbakar. Pohon yang dilompatinya lewat jendela dan dipanjatnya, pohon yang telah menyelamatkan nyawanya, kini roboh dan sebaliknya, mengambil nyawa keluarganya. Ia menangis kencang. Sejak itu Stella selalu mencap dirinya sebagai pembawa sial.

Enam tahun berlalu sejak kejadian itu. Setelah tiga tahun tinggal di panti asuhan, Stella diadopsi oleh keluarga yang baik. Dan kini, ia menapak tilas tragedi tahun baru itu di pergantian tahun, menuju tahun 2010. 010110. Entah mengapa apa yang ada di pikiran Stella adalah pelajaran konversi basis kemarin. Kakinya yang sakit karena memanjat pohon untuk melihat kembang api di kota dari kejauhan sudah tak terasa lagi. Keinginan untuk matipun sudah sirna karena ia sadar masih banyak sisi langit yang belum dipelajarinya. Sekarang, ia memuaskan memandang langit malam, mencoba mengingat apa saja yang ibunya telah ajarkan kepadanya tentang bintang, menyebut rasi satu persatu. Tapi, apa yang paling berkesan baginya adalah segitiga musim dingin. Tiga bintang itu, Betelgeuse, Sirius, dan Procyon seperti ayah, ibu, dan adiknya yang membentuk segitiga sama sisi, seolah tak pernah berubah dan sama kuatnya untuk mendukung hidup Stella.

Stella bangun dari baringnya dan melirik ke jam tangan miliknya. Waktu sudah menunjukkan pukul dua lewat dini hari. “Mungkin sudah saatnya untuk pulang.” pikirnya. Ia menatap langit untuk mengucapkan kata perpisahan pada bintang dan bulan. Tapi, apa yang ia lihat pada bulan membuat ia membatalkan niatnya untuk segera pulang. Ia tak percaya, tapi segera ia ambil binokular kecil pemberian ayahnya. Meski hanya mampu membesarkan enam belas kali, bulan tetap memberikan hal yang cantik sekali. Gerhana sebagian itu sungguh unik. Sekilas terlihat hanya seperti bulan purnama biasa, tapi jelas-jelas warna merah kecoklatan yang anggun terlihat di tepi kiri bulan. Indah sekali. Stella kembali berbaring dan menatap bulan lama-lama. Ia berharap bisa melihat keindahan ini bersama keluarganya, tapi tak mungkin. Maka ia hanya tersenyum dan kembali menatap gerhana itu. Apa lagi yang akan terjadi nanti?

Tanpa ia ketahui, samar-samar sosok wanita dan pria tua berdiri tersenyum menatap bulan di belakang Stella, dan sesosok gadis kecil bergaun putih duduk tertawa di sampingnya.

-30-


0 komentar:

Posting Komentar