Senin, 11 Januari 2010

Sebuah Cerita Rakyat

Ini ditulis untuk memenuhi tugas Bahasa Indonesia dari Bu Deka. Bu, saya lupa judulnya, jadi saya bikin sendiri judulnya. :)

Mencari Ibu

cerita rakyat Nusa Tenggara Timur

Pada zaman dahulu kala, di pinggiran hutan hiduplah seekor kucing betina dan anaknya. Kucing betina itu sudah sedemikian tua dan sering sakit-sakitan, tetapi ia sangat sayang pada anaknya. Saking sayangnya sang induk pada anaknya, akhirnya anaknya menjadi terlalu manja pada induknya. Ia hanya bermalas-malasan di hutan sementara induknya bekerja keras untuk memburu mangsa demi kelangsungan hidup anaknya yang sangat disayanginya.

Suatu hari, sang induk jatuh sakit dan tidak mampu untuk berburu mencari makan. Bukannya si anak kucing membantu induknya, ia malah bermalas-malasan dan membentak induknya, yang menurut ia sudah tidak sayang lagi padanya. Si induk hanya bisa pasrah dan diam. Ia merasa sudah tak sanggup untuk menasihati anaknya lagi. Merasa di acuhkan, anak kucing pergi meninggalkan induknya sendirian untuk mencari ibu baru.

Yang pertama ia temukan adalah matahari. Hari yang sangat cerah waktu itu membuat anak kucing terpesona pada sang surya. Menurutnya, matahari pantas menjadi induknya karena matahari mampu menerangi seisi dunia. Ia pun bertanya pada matahari, “Wahai matahari, engkau sangatlah terang dan gagah. Maukah engkau menjadi ibuku?”

Matahari menjawab, “Wahai kucing kecil, aku tidak segagah yang kau kira. Seterang apapun aku, awan selalu bisa menghalangi sinarku.”

Anak kucing itu pergi mencari tempat berawan lebat. Menurutnya, awan sangatlah hebat dan membuat kesejukan. Ia pun bertanya kepada gumpalan awan di langit, “Wahai awan yang menyejukkan, maukah kau menjadi ibuku?”

Namun awan menjawab, “ Kucing kecil, aku mau menjadi ibumu, tapi aku khawatir tidak bisa terus merawatmu. Angin selalu meniupku dan membuatku dapat pergi ke tempat yang sangat jauh.”

Kucing itu kecewa. Tapi ia meneruskan pencariannya. Ia melihat pohon-pohon yang tertiup angin. Angin itu sangat kuat dan bisa melindunginya. Ia bertanya pada angin di kejauhan, “Wahai angin perkasa yang mampu meniup apa saja, maukah kau menjadi ibuku?”

Angin itu menjawab, “Kucing kecil, ku rasa aku tak sanggup menjagamu. Bukit berada dimana-mana dan ia mampu memusnahkanku. “

Kucing itu lagi-lagi kecewa. Namun kekecewaannya berhenti ketika ia melihat bukit hijau yang tinggi di sebelah selatan. Ia berlari kencang menuju bukit itu, tak sabar untuk mendapat jawaban bukit. “Wahai bukit hijau yang mampu menghentikan apapun, mauah kau menjadi ibuku?”

Bukit itu menjawab,” Wahai makhluk kecil, ku yakin kau takkan mau lagi menjadi anakku jika aku sudah dilindas para kerbau. Mereka membuatku rata.”

Lagi-lagi kucing itu kecewa dan mendesah. Ia pun pergi ke pedesaan untuk mencari kerbau di rumah para petani. Ia pun menemukan seekor kerbau bertanduk gagah. Ia bertanya, “ Wahai kerbau yang gagah dan mampu meratakan bukit, maukah engkau menjadi ibuku?”

Dengan enggan si kerbau menjawab, “ Kucing kecil, tahukah kau bahwa rotan lebih kuat dariku? Bila rotan itu sudah melingkar di leherku, aku tak mampu lagi untuk bergerak bebas. Tanyalah padanya.”

Kucing kecil itu meninggalkan kerbau dan pergi ke gudang. Ia menemukan kalung rotan tergantung di dinding. Kucing itu bertanya, “Wahai rotan, kau mampu mengendalikan kerbau yang meratakan bukit. Kau sungguh perkasa. Maukah kau menjadi ibuku?”

Rotan menjawab, “Kucing kecil, aku yakin aku tak akan bertahan lama. Tikus-tikus di sana bisa menggerogotiku dan membuatku habis.”

Kucing itu kecewa sekali lagi. Ia sudah lelah mencari ibu baru. Namun ia berpikir, mungkin saja tikus-tikus itu mau menjadi ibunya. Ia pun bertanya pada rotan, di mana tempat tinggal tikus itu. Ia menunjuk ke lubang pada sebuah pohon. Kucing itu melihat anak-anak tikus dan induknya bermain di luar. Ia pun segera pergi menuju pohon itu. Namun apa yang terjadi adalah, tikus-tikus itu takut dan masuk ke dalam rumah mereka. Dari luar, kucing bertanya, “ Wahai tikus, aku ke sini tidak bermaksud jahat padamu. Aku hanya ingin engkau menjadi ibuku.”

Seekor tikus betina dengan badan gemetar perlahan-lahan keluar dari rumahnya. Ia berkata, “ Hai, kucing kecil, apakah kau tidak salah menjadikanku ibumu? Aku terlalu kecil untuk menjadi ibumu. AKu tahu siapa yang bisa menjadi ibumu. Ada seekor kucing tua di pinggiran hutan. Ia induk yang sangat baik. Ia tinggal bersama anaknya. Kami takut padanya. Kau tahu, anakku bisa bermain di luar rumah karena katanya kucing itu sedang sakit parah dan anaknya meninggalkannya. Mungkin kau bisa ke sana untuk menanyakannya.”

Anak kucing itu berpikir. “Bukannya itu ibunya? Kucing tua sakit-sakitan itu, telah mengalahkan tikus, rotan, kerbau, bukit, angin, awan, bahkan matahari?” ia pun sadar. Ia terlalu jahat pada ibu yang selalu menyayanginya dan memanjakannya. Ia merasa bersalah.

Kucing kecil itu kembali ke tempat ibunya tinggal. Ibunya sudah sangat menyedihkan. Ia menangis dan meminta maaf pada ibunya. Ibunya memaafkan. Sejak saat itu, ia sudah tak manja lagi dan mulai berburu sendiri untuknya dan ibunya. Ia bertekad untuk membahagiakan ibunya, yang sudah merawatnya dengan penuh kasih sayang. Mereka pun hidup bahagia selamanya.

-30-


0 komentar:

Posting Komentar