Kamis, 28 Januari 2010

Mengunduh Cerpen :)

Di ambil dari http://sangkekupu.tripod.com/c_zamiel.html

LELAKI YANG MENULIS SURAT
oleh : M.Zamiel Muttaqin

KEKASIHKU,

Adakah yang lebih menyiksa daripada kesepian? Kau pasti heran, atau bahkan tak percaya, bagaimana di kota yang hingar-bingar ini aku bisa merasakan kesepian yang teramat kejam mengoyak-ngoyak perasaan. Atau mungkin kau berpikir, “kegilaanku yang sediakala” datang dan menyerang. Tidak Sayang, aku tak segila dulu meskipun melankoli yang menjebakku kali ini jauh lebih dahsyat daripada yang dulu. Apakah kau masih selalu mengatakan, “Lelaki tak boleh melankolis!”? Ah, seandainya kau jadi lelaki, niscaya kau mengenal dengan baik makhluk yang bernama melankoli itu: ia tak berjenis kelamin dan karena itu bisa memesrai baik perempuan maupun lelaki.

TUUUTT... tutt... tuuuutt....

Lelaki itu menghentikan tarian jemarinya pada keyboard laptopnya. Bunyi telepon itu mengganggu.

“Hallo?”

“Maaf, Pak. Pak Agus dan Pak Arief mau meng-hadap. Apakah Bapak bersedia menerima?”

“Suruh mereka masuk.”

Pintu dibuka. Dua orang lelaki masuk. Lalu mereka bertiga duduk berhadapan di sofa, me-ngelilingi sebuah meja pualam kecil, di bagian lain ruangan itu.

“What’s the monster, Men?”

Lelaki itu selalu menyebut masalah yang tak terselesaikan di newsroom dan tak bisa didiskusikan secara interaktif di komputer dengan kata “monster”.

Pak Agus, Kepala Redaksi di perusahaan pe-nerbitan itu, menjawab.

“Laporan yang akan kita turunkan minggu depan, Pak. Ternyata masih menimbulkan polemik di jajaran redaksi.”
Pak Arief, Redaktur Pelaksana, segera menyerahkan berkasnya.

Lelaki itu membaca naskah setebal 12 halaman tersebut dengan cepat. Ia segera mafhum apa yang menjadi “monster”.
“It’s a big monster,” desisnya.

Lalu, “Bagaimana kalau kita ganti saja dengan tema lain?”

“Tidak mungkin, Pak.” Mereka menjawab hampir bersamaan.

Pak Arief segera menyambung, “Semua media menurunkan masalah ini, dengan perspektif ke-pentingan mereka masing-masing. Apa Bapak ingin kita ketinggalan?”

“So, what’s our interest?”

Mereka menjawab lagi-lagi hampir bersamaan, tapi setengah bergurau.

“Mencerdaskan bangsa berdasarkan Pancasila.”

Semua terbahak. Paras lelaki itu sampai memerah. Di matanya air menggenang. Ia suka sekali gurauan itu rupanya.
Buru-buru ia mengusap mata dan wajahnya dengan sapu tangan. Setelah emosinya mereda, ia baru bicara.

“Dengan mengungkap fakta sejelas-jelasnya, kita akan dengan mudah dituduh tidak mempertimbang-kan kepentingan pihak pemilik modal perusahaan ini. Semua fakta jelas-jelas menyudutkan dia. Tapi jika kita menutupinya, pembaca akan meninggalkan kita. Dan di era euforia reformasi ini, kita akan jadi bahan tertawaan ‘rekan-rekan sesama wartawan’. Jadi, kita pilih jalan tengah saja. Fakta tetap harus diungkap sedetil-detilnya, tapi kita sertakan juga konteks sosial-politik yang melatarbela-kanginya, sehingga tampak seolah-olah bos kita itu melakukannya karena memang ‘mau tak mau’. Sistem yang mendorong dia melakukan itu yang kita persalahkan. See, Men?”

Pak Agus dan Pak Arief manggut-manggut. Mereka sepakat, itu adalah alternatif terbaik di antara pilihan-pilihan yang semuanya buruk.

Setelah dua orang bawahannya itu me-ninggalkan ruangan, lelaki itu kembali menghadapi layar laptop-nya dan meneruskan pekerjaannya.

KEKASIHKU, perempuanku,

Tentu sekarang kau masih mengenalku sebaik kau mengenalku dulu: lelaki yang keras kepala dengan sekeranjang ambisi; keranjang itu ia beri nama “idealisme”. Ketika kita pacaran di semasa kuliah 35 tahun yang lalu, aku selalu bangga dan bahagia mendengarmu menyebutku begitu. Bukan sebutan, yang selalu kauulang dengan nada setengah mengejek, itu yang sesungguhnya terasa mem-bahagiakan. Tapi kenyataan di baliknya: kau mengenalku lebih dari aku mengenal diriku sendiri. Dan sekarang, setelah 35 tahun, bagaimanakah kau membayangkan diriku?

Keranjang idealisme itu perempuanku, masih kupikul meski warnanya tak seterang dulu. Maklumlah, waktu 35 tahun lebih dari cukup untuk mengubah apa pun. Apalagi buah-buahan di dalam keranjang itu. Ada yang habis kumakan setelah ranum. Ada yang tak sempat kumakan sehingga membusuk dan digerogoti ulat-ulat. Ada juga yang dari dulu tak kunjung masak. Tapi ada juga yang setelah masak dan kumakan tak habis-habis sehingga menjadi menu harian yang akhirnya membosankan.
Yang terakhir itu, kau tahu, ialah pekerjaanku sekarang. Tuhan menciptakan dunia dengan Takdir-Nya. Dan wartawan membangun kembali dunia itu dengan pena. Bila Tuhan yang mengatur segala kejadian, wartawanlah yang berwenang menentukan mana peristiwa yang sebaiknya direnungkan dan mana yang harus dilupakan. Wartawan, kukira semula, dapat menjadi nabi: pembantu Tuhan di bumi yang bertugas menjabarkan kehendak-Nya kepada umat manusia setelah rasul tak ada lagi. Betapa mulia tugas itu, namun betapa naif perkiraanku.

Bergelut dengan satu pekerjaan selama 30 tahun membuatku berpikir kembali, benarkah jurnalistik berguna bagai nubuwat. Ada sekelumit sinisme di situ, yang timbul dari jarak: kebosanan, mungkin ke-lelahan. Ya kekasihku, apa sebenarnya guna “membangun kembali dunia denga pena”? Untuk mencerdaskan bangsa? Aku sudah lama tidak percaya dengan omong kosong besar itu. Hari-hari wartawan semakin mengukuhkan diri sebagai pe-dagang, bukan pendidik. Ia menjual setiap kata yang disusun berdasarkan fakta, setiap kata yang telah dimiskinkan dari makna, setiap kata yang nyaris hampa belaka, setiap kata yang akhirnya juga tidak bisa dipercaya. Kata-kata wartawan adalah slogan dan bukan puisi--sebab siapakah yang masih sudi membeli puisi? Hi-dup di tengah-tengah kubangan kata-kata yang seperti itu, aku sering kehilangan puisi, suara-suara Hidup yang murni. Alangkah sepi ke-kasihku, alangkah kosong hidup ini tanpa puisi.

TUUUTT... tutt... tuuutt....

Telepon itu mengganggu lagi.

“Hallo?”

“Telepon dari ibu, Pak. Beliau ingin bicara.”

“Ya, sambungkan.”

“Hallo, Papa?”

“Apa kabar, Ma?”

“Baik. Sedang apa sih Papa, kok mematikan handphone segala?”

“Ow, sorry Mom. Papa lagi menulis. It’s really important.”

“O ya. Apa kita bisa makan bersama siang ini? Papa enggak ada janji kan?”

“Mm, sebentar. Papa lihat jadwal dulu. Ya, bisa. Ada apa sih Ma, ‘ngajak makan siang bareng segala?”

“Anu, mama nanti malam ada meeting di Bandung. Jadi, enggak bisa ‘nemani Papa makan malam.”

“Di mana kita ketemu?”

“Di tempat biasa aja Pa. Mama sudah pesan meja kok.”

“Okey, pukul 12.15 di tempat biasa.”

“Da, Papa.”

Lelaki itu mengecupkan kedua bibirnya satu sama lain.
Begitu istrinya memutuskan sambungan, ia langsung menekan tombol bicara yang meng-hubungkannya dengan sekretarisnya.

“Saya, Pak?”

“Laksmi, kita enggak jadi makan siang bareng. Bagaimana kalau makan malam? Atau, kamu sudah ada janji?”

“Tidak, Pak. Tidak ada janji.”

“Okey, aku pesankan taksi buat menjemput kamu pukul tujuh nanti. Kita ketemu di tempat biasa.”

Lalu lelaki itu kembali menulis.

KEKASIHKU, perempuanku, cintaku,
Rupanya aku telah menabung kesepian sejak kita berlpisah 30 tahun yang lalu. Sejak kau pergi dari sisiku dan aku pergi dari sisimu, tak ada apa atau siapa yang bisa membantuku melawan kesendirian. Beberapa tahun kemudian aku memang menikah. Mulanya aku mengira rumah tangga adalah sorga, seperti keluarga kakek-nenek kita di desa dulu. Tapi lama-lama aku tahu, di kota macam ini pernikahan adalah jalan kecil dan licin di antara sorga dan neraka menuju ke entah. Jika tergelincir, kita segera jatuh ke neraka. Maka aku mencari apa pun atau siapa pun yang bisa mengalahkan kesepianku di mana saja: pub-pub, kamar-kamar hotel, taman-taman kota. Dan, kau tahu, tak ada.

Begitulah, sampai hari ini aku masih mencari, bahkan ke dalam mimpi. Tapi mimpi-mimpiku selalu hanya berupa sisa-sisa catatan seorang wartawan yang tak sempat dipublikasikan: detil data tentang konspirasi di balik kerusuhan-kerusuhan, caci-maki seorang kiyai, perkawinan gelap seorang menteri, pengakuan gadis keturunan yang diperkosa delapan ten.... Ya, seperti itulah mimpi-mimpiku. Hal-ihwal yang sangat bagus dan berarti bagi seorang wartawan, tapi yang bagiku sekarang sungguh-sungguh memuakkan. Barangkali sudah waktunya aku pensiun. Aku ingin menulis perkara-perkara yang sederhana. Aku akan menulis bagaimana alam mengatur letak batu-batu di sungai kecil di desa sehingga gemericik air itu begitu enak di telinga dan riak-riaknya begitu sedap di mata. Aku akan menulis tentang prasangka jangan-jangan warna laut yang coklat kehitam-hitaman di pantai-pantai kota kita dapat menimbulkan persepsi estetis baru, sensasi baru. Dan tentu saja aku akan menulis puisi seperti dulu, mencuri-curi sisa-sisa aksara yang belum ternoda.

LELAKI itu berhenti menulis. Diteguknya kopi yang mulai dingin pada cangkir keramik biru abu-abu itu. Disulutnya sebatang rokok. Lalu tangannya meraih remote-control dan menyalakan televisi. Gambar-gambar bergerak di depan layar kaca itu: film India. Ia mendengus. Dari mulutnya keluar semacam umpatan dengan suara yang tak teramat jelas, “Huh, pagi-pagi sudah film India.”

Hampir saja ia mematikan televisi itu ketika di layar seorang perempuan membuka pintu kamar pelan-pelan. Paras perempuan India itu, juga caranya membuka pintu, mengingatkannya pada seseorang.

Setelah gambar berganti, ia baru menekan tombol power-off pada remote-control di tangan kirinya. Memori otaknya bekerja membuka file dengan nama tempat dan tanggal: New Delhi, 25 Desember 1995. Ia, bersama seorang perempuan muda asal Pakistan, berbicara di sebuah simposium tentang Jurnalisme dan Feminisme. Lalu di antara mereka terjadi per-kenalan. Lalu semacam keintiman. File-file lain pun terbuka dan tertutup silih berganti di benaknya, tentang pertemuan-pertemuan, tetapi bukan simposium.

Sudah 5 bulan 12 hari ia tak bertemu dengan perempuan itu. Tiba-tiba lelaki itu merasakan se-macam kerinduan bergolak di dadanya. Ia ingin meneleponnya. Tapi ketika jarinya siap menekan angka-angka di telepon (otaknya menghafal dengan baik nomor telepon sebuah LSM di New York, tempat perempuan itu biasa berada), ia malah ber-alih ke keyboard laptop-nya dan menyelesaikan suratnya.

KEKASIHKU, satu-satunya yang bisa memahami dan mencintaiku,

Datanglah padaku. Beri aku keberanian. Akan kutinggalkan tahta di kerajaan pers ini. Aku tak ingin jadi raja. Aku tak bisa. Aku akan pulang ke rumahmu. Datanglah. Beri aku kekuatan. Akan kutanggalkan segenap popularitas ini. Aku mabuk. Aku akan tidur dalam selimutmu saja. Datanglah padaku. Beri aku cinta. Biar kualirkan seluruh sisa hidupku ke kakimu. Datanglah. Aku hanya bisa mencintaimu.

LELAKI itu merasakan kelegaan yang luar biasa begitu kalimat terakhir itu selesai ditulis.

Lalu ia tercenung, lama sekali.

Lalu ia menghapus file surat itu.

Lalu hatinya hati-hati bertanya, “Di manakah kamu kekasihku? Siapakah kamu?


-30-



Rabu, 27 Januari 2010


Cerpen 1
Pengemis dan Shalawat Badar

Biografi Penulis


Ahmad Tohari, (lahir di Tinggarjaya, Jatilawang, Banyumas, Jawa Tengah, 13 Juni 1948; umur 61 tahun) adalah sastrawan Indonesia. Ia menamatkan SMA di Purwokerto. Namun demikian, ia pernah mengenyam bangku kuliah, yakni Fakultas Ilmu Kedokteran Ibnu Khaldun, Jakarta (1967-1970), Fakultas Ekonomi Universitas Sudirman, Purwokerto (1974-1975), dan Fakultas Sosial Politik Universitas Sudirman (1975-1976). Ia pernah bekerja di majalah terbitan BNI 46, Keluarga, dan Amanah. Ia mengikuti International Writing Program di Iowa City, Amerika Serikat (1990) dan menerima Hadiah Sastra ASEAN (1995).

Karya dan Pengh
argaan

* Kubah (novel, 1980) memenangkan hadiah Yayasan Buku Utama 1980

* Ronggeng Dukuh Paruk (novel, 1982)

* Lintang Kemukus Dini Hari (novel, 1985)
* Jantera Bianglala (novel, 1986) memenangkan hadiah Yayasan Buku Utama 1986

* Senyum Karyamin (kumpulan cerpen, 1989)
* Bekisar Merah (novel, 1993)

* Lingkar Tanah Lingkar Air (novel, 1995)
* Nyanyian Malam (kumpulan cerpen, 2000)
* Belantik (novel, 2001)

* Orang Orang Pro ek (novel, 2002)
* Rusmi Ingin Pulang (kumpulan cerpen, 2004)
* Ronggeng Dukuh Paruk Banyumasan (novel bahasa Jawa, 2006; meraih Hadiah Sastera Rancagé 2007


Karya-karya Ahmad Tohari telah diterbitkan dalam bahasa Jepang, Tionghoa, Belanda dan Jerman. Edisi bahasa Inggrisnya sedang disiapkan penerbitannya.

UNSUR INTRINSIK


Tema : keagamaan, kehidupan manusia, masyarakat


Tokoh :

1. Aku
Peduli sesama, pemikir kritis, penyabar, tenang
2. Pengemis

Sopan, polos

3. Sopir

Pemarah, ti
dak sabaran, mau menang sendiri
4. Kondektur
keras kepala, pemarah, mau menang sendiri
5. Penumpang lain

tidak peduli lingkungan sekitar

6. Pedagang-pedagang asongan
Keras kepala, tidak sopan


Alur : maju

Latar :
Waktu : siang hari

Tempat : Bus antarkota, terminal Cirebon, jalan raya & sawah tempat kecelakaan

Suasana : Riuh, ramai, menegangkan
Perspektif : orang pertama, pelaku utama

Amanat : Manusia dari manapun yang dekat dengan Tuhan pasti mendapatkan keselamatan


Cerpen 2

Tegak Lurus Dengan Langit


Biografi Penulis



Iwan Martua Dongan Simatupang lahir di Sibolga, Sumatera Utara tanggal 18 Januari 1928. Ia belajar di HBS di Medan, lalu melanjtukan ke sekolah kedokteran (NIAS) di Surabaya tapi tidak selesai. Kemudian belajar antropologi dan filsafat di Leiden dan Paris. Tulisan-tulisannya dimuat di majalah Siasat dan Mimbar Indonesia mulai tahun 1952.

Karya novel yang terkenal Merahnya Merah (1968) mendapat hadiah sastra Nasional 1970, dan Ziarah (1970) mendapat hadiah roman ASEAN terbaik 1977.

Iwan Simatupang meninggal di Jakarta 4 Agustus 1970.

Karya dan Penghargaan

*Petang ditaman - drama sebabak (1966)

*Merahnja merah - novel (1968)

*Kering - novel (1972)

*Drought - terj. bahasa Inggris oleh Harry Aveling (1978)

*Kooong: kisah tentang seekor perkutut (1975)

*Tegak lurus dengan langit: lima belas cerita pendek (1982)

*Ziarah - novel (1983)

*The Pilgrim - terj. bahasa Inggris oleh Harry Aveling (1975)

*Ziarah - terjemahan bahasa Perancis (1989)

*Surat-surat politik Iwan Simatupang, 1964-1966 (1986)

*Poems - selections (1993)

*Square moon, and three other short plays - terj. John H. McGlynn (1997)

*Ziarah malam: sajak-sajak 1952-1967 - penyunting: Oyon Sofyan, S. Samsoerizal Dar, catatan penutup, Dami N. Toda (1993)

*Kebebasan pengarang dan masalah tanah air: esai-esai Iwan Simatupang, editor, Oyon Sofyan, Frans M. Parera (2004)

*RT Nol / RW Nol - drama satu babak

UNSUR INTRINSIK

Tema : tragedi keluarga, kehidupan

Tokoh :

1. Dia : tidak berpikir sebelum bertindak, penuh tekanan

2. Teman ayah : Licik

3. Abang : kejam

4. Ibu : Mudah ditipu

5. Sosok laki-laki misterius

Alur : mundur

Latar :

Waktu : Dini hari, masa lalu

Tempat : bukit, rumah aku

Suasana : tegang, bingung, sedih

Perspektif : orang ketiga, pengamat

Amanat : Berpikir sebelum bertindak

Bertanggung jawablah atas apa yang dilakukan



DEMIKIAN DAN BEGITULAH BU DHEKA :)




Senin, 11 Januari 2010

Sebuah Cerita Rakyat

Ini ditulis untuk memenuhi tugas Bahasa Indonesia dari Bu Deka. Bu, saya lupa judulnya, jadi saya bikin sendiri judulnya. :)

Mencari Ibu

cerita rakyat Nusa Tenggara Timur

Pada zaman dahulu kala, di pinggiran hutan hiduplah seekor kucing betina dan anaknya. Kucing betina itu sudah sedemikian tua dan sering sakit-sakitan, tetapi ia sangat sayang pada anaknya. Saking sayangnya sang induk pada anaknya, akhirnya anaknya menjadi terlalu manja pada induknya. Ia hanya bermalas-malasan di hutan sementara induknya bekerja keras untuk memburu mangsa demi kelangsungan hidup anaknya yang sangat disayanginya.

Suatu hari, sang induk jatuh sakit dan tidak mampu untuk berburu mencari makan. Bukannya si anak kucing membantu induknya, ia malah bermalas-malasan dan membentak induknya, yang menurut ia sudah tidak sayang lagi padanya. Si induk hanya bisa pasrah dan diam. Ia merasa sudah tak sanggup untuk menasihati anaknya lagi. Merasa di acuhkan, anak kucing pergi meninggalkan induknya sendirian untuk mencari ibu baru.

Yang pertama ia temukan adalah matahari. Hari yang sangat cerah waktu itu membuat anak kucing terpesona pada sang surya. Menurutnya, matahari pantas menjadi induknya karena matahari mampu menerangi seisi dunia. Ia pun bertanya pada matahari, “Wahai matahari, engkau sangatlah terang dan gagah. Maukah engkau menjadi ibuku?”

Matahari menjawab, “Wahai kucing kecil, aku tidak segagah yang kau kira. Seterang apapun aku, awan selalu bisa menghalangi sinarku.”

Anak kucing itu pergi mencari tempat berawan lebat. Menurutnya, awan sangatlah hebat dan membuat kesejukan. Ia pun bertanya kepada gumpalan awan di langit, “Wahai awan yang menyejukkan, maukah kau menjadi ibuku?”

Namun awan menjawab, “ Kucing kecil, aku mau menjadi ibumu, tapi aku khawatir tidak bisa terus merawatmu. Angin selalu meniupku dan membuatku dapat pergi ke tempat yang sangat jauh.”

Kucing itu kecewa. Tapi ia meneruskan pencariannya. Ia melihat pohon-pohon yang tertiup angin. Angin itu sangat kuat dan bisa melindunginya. Ia bertanya pada angin di kejauhan, “Wahai angin perkasa yang mampu meniup apa saja, maukah kau menjadi ibuku?”

Angin itu menjawab, “Kucing kecil, ku rasa aku tak sanggup menjagamu. Bukit berada dimana-mana dan ia mampu memusnahkanku. “

Kucing itu lagi-lagi kecewa. Namun kekecewaannya berhenti ketika ia melihat bukit hijau yang tinggi di sebelah selatan. Ia berlari kencang menuju bukit itu, tak sabar untuk mendapat jawaban bukit. “Wahai bukit hijau yang mampu menghentikan apapun, mauah kau menjadi ibuku?”

Bukit itu menjawab,” Wahai makhluk kecil, ku yakin kau takkan mau lagi menjadi anakku jika aku sudah dilindas para kerbau. Mereka membuatku rata.”

Lagi-lagi kucing itu kecewa dan mendesah. Ia pun pergi ke pedesaan untuk mencari kerbau di rumah para petani. Ia pun menemukan seekor kerbau bertanduk gagah. Ia bertanya, “ Wahai kerbau yang gagah dan mampu meratakan bukit, maukah engkau menjadi ibuku?”

Dengan enggan si kerbau menjawab, “ Kucing kecil, tahukah kau bahwa rotan lebih kuat dariku? Bila rotan itu sudah melingkar di leherku, aku tak mampu lagi untuk bergerak bebas. Tanyalah padanya.”

Kucing kecil itu meninggalkan kerbau dan pergi ke gudang. Ia menemukan kalung rotan tergantung di dinding. Kucing itu bertanya, “Wahai rotan, kau mampu mengendalikan kerbau yang meratakan bukit. Kau sungguh perkasa. Maukah kau menjadi ibuku?”

Rotan menjawab, “Kucing kecil, aku yakin aku tak akan bertahan lama. Tikus-tikus di sana bisa menggerogotiku dan membuatku habis.”

Kucing itu kecewa sekali lagi. Ia sudah lelah mencari ibu baru. Namun ia berpikir, mungkin saja tikus-tikus itu mau menjadi ibunya. Ia pun bertanya pada rotan, di mana tempat tinggal tikus itu. Ia menunjuk ke lubang pada sebuah pohon. Kucing itu melihat anak-anak tikus dan induknya bermain di luar. Ia pun segera pergi menuju pohon itu. Namun apa yang terjadi adalah, tikus-tikus itu takut dan masuk ke dalam rumah mereka. Dari luar, kucing bertanya, “ Wahai tikus, aku ke sini tidak bermaksud jahat padamu. Aku hanya ingin engkau menjadi ibuku.”

Seekor tikus betina dengan badan gemetar perlahan-lahan keluar dari rumahnya. Ia berkata, “ Hai, kucing kecil, apakah kau tidak salah menjadikanku ibumu? Aku terlalu kecil untuk menjadi ibumu. AKu tahu siapa yang bisa menjadi ibumu. Ada seekor kucing tua di pinggiran hutan. Ia induk yang sangat baik. Ia tinggal bersama anaknya. Kami takut padanya. Kau tahu, anakku bisa bermain di luar rumah karena katanya kucing itu sedang sakit parah dan anaknya meninggalkannya. Mungkin kau bisa ke sana untuk menanyakannya.”

Anak kucing itu berpikir. “Bukannya itu ibunya? Kucing tua sakit-sakitan itu, telah mengalahkan tikus, rotan, kerbau, bukit, angin, awan, bahkan matahari?” ia pun sadar. Ia terlalu jahat pada ibu yang selalu menyayanginya dan memanjakannya. Ia merasa bersalah.

Kucing kecil itu kembali ke tempat ibunya tinggal. Ibunya sudah sangat menyedihkan. Ia menangis dan meminta maaf pada ibunya. Ibunya memaafkan. Sejak saat itu, ia sudah tak manja lagi dan mulai berburu sendiri untuknya dan ibunya. Ia bertekad untuk membahagiakan ibunya, yang sudah merawatnya dengan penuh kasih sayang. Mereka pun hidup bahagia selamanya.

-30-